Kamis, 07 Juli 2011

Etnografi Sebuah Novel (Catatan Kritis untuk J.A. Sonjaya)

Oleh Victor Zebua
Sayani sangat tertarik pada mitos roh pemakan bayi. Jelas di matanya ada kesan bahwa Sayani yang telah mengeyam bangku sekolah itu tidak percaya akan takhayul yang seperti itu. Demikian secuplik cerita menyangkut roh pemakan bayi dalam novel Manusia Langit Sebuah Novel Etnografis karya J.A. Sonjaya (2010:20).
Alur cerita dibangun lewat penemuan sebuah periuk tanah liat ketika Sudip Sayani melakukan penggalian di ladang milik keluarga Laiya. Konon, menurut yang empunya novel, ladang tersebut ada di Banuaha, sebuah kampung di kawasan Gomo, Pulau Nias. Banuaha singkatan dari banua niha (kampung manusia). Sayani pemuda lokal Banuaha. Dia membantu Mahendra, dosen dari Yogyakarta, yang tengah berupaya menemukan bukti arkeologis bekas permukiman pendahulu suku Banuaha.
Misteri periuk terkuak lewat ayah Sayani, Sambörö alias Ama Budi. Menurut Ama Budi, dia menempatkan bayi laki-lakinya yang baru lahir dalam periuk, lalu menguburnya hidup-hidup. Masyarakat Banuaha yang masih bodoh banyak yang percaya jika bayi itu dimakan roh jahat (hal. 24).
Itulah mitos roh pemakan bayi. Mitos tersebut ber-latar Nias. Latar (setting) cerita adalah lokasi, tata cara, adat istiadat, kepercayaan, ataupun nilai-nilai yang berlaku di lokasi tersebut (Nurgiyantoro, 2009:219). Karena novel ini novel etnografis, maka timbul pertanyaan kritis, apakah mitos roh pemakan bayi itu etnografi Nias? Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 1997:3). Apakah mitos roh pemakan bayi merupakan mitos menurut sudut pandang orang Nias?
Masyarakat tradisional Nias percaya, menjelang ibu melahirkan banyak roh jahat berkeliaran. Yang paling ditakuti adalah matiana. Konon matiana (maciana) adalah perempuan yang meninggal saat bersalin. Mungkin cemburu atau balas dendam, matiana sering mengganggu ibu hamil atau ibu melahirkan (Laiya, 1980:37). Namun, tidak disebutkan dia memakan bayi. Lalu, siapakah roh pemakan bayi itu? Dalam novel tidak dijelaskan, selain hanya disebutkan ada mitosnya. Sementara di alam nyata Nias, mitos ini tidak terdengar sebagaimana santernya mitos kuyang di Kalimantan.
Mitos dalam Novel
Mitos kuyang dideskripsikan oleh Yasmin, salah satu tokoh dalam novel. Yasmin, mahasiswi Mahendra di Yogyakarta, mempresentasikan hasil penelitian ‘aborsi yang terjadi pada masa silam’.  Menurut Yasmin, kuyang hantu pemakan bayi. Kuyang digambarkan berkepala besar tanpa tubuh dengan usus terjuntai dari leher (hal. 31).
Yasmin menduga, yang menjadi kuyang para orangtua bayi itu. Argumentasinya, sistem subsistensi masyarakat berburu dan berladang belum mendukung kehidupan dengan jumlah anak atau populasi banyak sehingga lahir perilaku pembunuhan bayi. Di suku Dayak, cerita roh jahat memangsa bayi sudah diterima sebagai kebenaran. Itulah mitos, cerita yang sengaja diciptakan untuk melegalkan suatu tindakan (hal. 32).
Mitos roh pemakan bayi di Banuaha bermula dari Belada. Sebelum para leluhur Banuaha ada, Banuaha dikuasai suku Belada. Mereka tinggal di pohon dan gua, hidup dari berburu. Bayi mereka sering hilang dimakan roh jahat. Akibatnya populasi Belada tidak berkembang, bahkan punah. Menurut Ama Budi, cerita itu masih hidup hingga sekarang, banyak orangtua percaya adanya roh pemakan bayi (hal. 20).
Mahendra, yang juga tokoh aku, berasumsi, “Menurutku yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orangtua mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuannya masih menyusui dan melahirkan bayi? Untuk bisa bertahan hidup, mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun atau dihanyutkan di sungai. Si orangtua kemudian berteriak histeris. Lalu mereka membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh roh jahat. Tidak ada orang yang meragukan cerita itu. Tidak ada orang yang menyalahkan orangtua bayi yang malang itu.” (hal. 21).
Suku Banuaha hidup berladang, tidak berpindah-pindah. Dengan berladang jumlah orang Banuaha berkembang sangat cepat. Mereka punya lebih banyak waktu untuk kawin dan punya anak. Akibatnya, ladang tidak cukup lagi untuk menghidupi orang yang terus bertambah. Menurut Ama Budi, puncaknya tahun 80-an, mereka tidak bisa lagi makan dan mencari ladang baru karena hutan sudah habis ditebang para pendatang dari seberang (hal. 23). Ama Budi terpaksa membunuh anaknya yang baru lahir, karena dia tidak sanggup memberi makan bayi malang itu. Dia lalu mengaku bayinya hilang dimakan roh jahat. Itulah mitos roh pemakan bayi di Banuaha, serupa dengan mitos pada suku Belada.
Deskripsi Etnosentris
Dalam salah satu cerita rakyat Nias, disebutkan béla adalah saudara dari manusia (Hämmerle 1998:128). Langi Sagörö di Teteholi Ana’a (kayangan) memiliki dua istri. Istri pertama, Rici Akhi Langi, melahirkan béla. Istri kedua, Nazaria Walangi, melahirkan manusia. Béla dan manusia diturunkan ke bumi. Karena keduanya bersaudara, manusia menyebut béla: bélada (saudara kita) atau bélau (saudaramu). Sedang dalam agama rakyat (folk religion) Nias, béla dewa yang dipuja (Harefa, 1939:72; Hämmerle, 1995:119).
Namun Hämmerle (2001:21) menduga béla penduduk asli Nias. Artinya, suku Béla lebih dulu ada di Nias, baru belakangan menyusul suku Nias. Dugaan tersebut tampak menginspirasi kisah Belada dalam novel, adanya suku Belada sebelum suku Banuaha. Ini mengindikasikan, imajinasi kreatif penulis novel ketika membangun kisah Belada (dalam novel) didasarkan pada suatu dugaan (hipotesis).
Sedang mitos roh pemakan bayi diilhami mitos kuyang dari Yasmin, terlihat dalam isi asumsi Mahendra. Imajinasi kreatif penulis novel berhasil mengimpor ‘mitos kuyang suku Dayak’ ke suku Bela maupun suku Banuaha. Maka terjadilah mitos roh pemakan bayi dalam novel. Mitos itu sendiri tidak terdengar di alam nyata Nias. Artinya, mitos tersebut bukan deskripsi etnografi, namun etnosentris. Etnosentris adalah cara pandang seorang peneliti terhadap kehidupan budaya lain menurut kacamata budaya sendiri (Spradley, 1997:30; Endraswara, 2006:17).
Etnosentris terlihat pula pada pemahaman penulis novel terhadap adu zatua. Menurut dia, orang bisa memanggil dan bicara pada roh leluhur melalui adu zatua (hal. 6). Adu zatua (patung orang tua) kurang lebih dipandang layaknya jailangkung, ‘datang tak dijemput, pulang tak diantar’.
Dalam religi wanömba adu atau wolohé adu (pemujaan patung), dipercaya adu zatua sebagai tempat mendiang orang tua bersemayam. Namun, arwahnya tidaklah bisa dipanggil dan diajak ngobrol. Adu zatua sebenarnya adalah piranti penghormatan terhadap orang tua (Mendröfa, 2005:52).
Pengertian mado juga melukiskan etnosentris. Terlihat pada kata-kata Sayani, “… Itulah alasan kenapa mereka sekeluarga pindah dari kampung ini dan mendirikan mado baru…” (hal. 168). Dipertegas dengan Daftar Istilah, mado diartikan sebagai “istilah lain untuk menyebut kampung yang dibangun berdasarkan marga” (hal. 206).
Mado bukan istilah lain untuk menyebut kampung. Mado berasal dari kata madou, berarti: cicit-piut, bani (Zebua, 1996:7). Mado adalah nama keluarga (marga) yang diambil dari nama leluhur pertama atau leluhur terkenal. Tradisi mado dimulai ketika ada aturan yang mewajibkan setiap penduduk memiliki sura fasi. Sura Fasi adalah surat pendaftaran penduduk pribumi menjadi warga negara Belanda, dimulai tahun 1910. Di dalamnya harus dicantumkan nama keluarga.
Selain mado, sejumlah kata Nias, misalnya: sauhagölö , inangku, fondrakhö, bekhu (menhir), kurang pas dipakai. Ini mencerminkan kejelian penulis novel menyerap aspek bahasa. Sauhagölö lazimnya saohagölö ‘terima kasih’. Inangku lazimnya inagu ‘ibuku’. Fondrakhö lazimnya fondrakö. Arti bekhu adalah hantu; sedang menhir = behu.
Sebagai karya sastra, novel ini dihasilkan melalui imajinasi kreatif dan kontemplasi individual. Karena karya sastra ditujukan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, tentu elok bila dia disajikan sesempurna mungkin.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com