Selasa, 19 Juli 2011

PERANAN ZAINAB DALAM PERJUANGAN ISLAM

gallery3_04.jpg    
Seperti yang kita ketahui bahwa sangat banyak dan berarti sekali peranan wanita dalam perjuangan islam, sehinga dengan perjuangan yang gigih itu, mereka dapat mengubah jalannya sebuah sejarah.

Diantara wanita-wanita tersebut terdapat tiga sosok wanita suci yang memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu majunya agama islam. Mereka adalah Khadijah (sa) istri Rasulallah (Saw), Fatimah Azzahra (sa) putri Rasulallah (saw) ,Dan putri Imam Ali (sa) Zainab Kubro (sa), Serta masih banyak lagi wanita-wanita lainnya yang memiliki peranan penting dalam sejarah Islam.Tetapi saya  akan membahas sekilas tentang peranan Zainab dalam peristiwa karbala, Yang mana beliau adalah saksi mata langsung dan pembawa  berita tentang kekejaman dan kebiadaban Yazid (lanatullah alaih) dan para pengikutnya, Pada  peristiwa Tanah  Karbala tempat dimana kakak beliau Imam Husein (as) telah syahid.
     Sebelum  masuk pada pokok pembahasan ada dua hal  penting yang dapat utarakan yaitu tentang:
1.Persensi Kehadiran Wanita Dalam MasyarakatPersensi atau kehadiran wanita di tegah-tengah masyarakat umum dalam segala hal, Adalah sebuah fenomena dan permasalahan yang tidak dapat kita pungkiri dan kita hindari. Namun yang masih diperdebatkan oleh sebagian orang adalah batas-batas dan syarat-syaratnya yaitu sampai dimanakah mereka memiliki peran dalam menjalani tugas-tugasnya didalam masyarakat tersebut. Yang dapat dikatakan secara ringkas adalah setiap pekerjaan  yang dilakukan secara berorganisasi atau kelompok membutuhkan tenaga kerja yang ahli dan mahir. Yang setiap dari mereka melaksanakan tugasnya   sesuai dengan  keahlian dan kemahiran mereka masing-masing. Namun jika organisasi tersebut mempekerjakan seorang anggota  yang bertentangan dengan keahlian dan kemahirannya akan  menyia-nyiakan jerih payah mereka dan menyebabkan  kegagalan dan kerugian organisasi tersebut.  Keberuntungan dan ketenteraman setiap masyarakat dalam mendidik generasi baru terdapat pada sebuah akidah yang mengatakan bahwa manusia tercipta dari dua jenis yang berbeda laki-laki dan perempuan, dengan susunan tubuh yang berbeda secara  jasmani dan rohani, yang dengan perbedaan itu mereka memiliki tanggung jawab yang berbeda pula. Dengan inilah akan terbentuk sebuah hubungan keluarga yang sangat erat, yang dari itu  akan melahirkan sebuah generasi masyarakat yang baik ,penuh keimanan dan keperibadian yang luhur. Namun jika salah satu dari mereka tidak  menjalankan tugasnya secara baik, bahkan mereka lalai dan melakukan pekerjaan selain tugas yang telah ditentukan oleh Tuhan, maka pondasi keluarga akan goncang, dan akhirnya budaya dan pendidikan masyarakatpun akan rusak. 
2.Tugas  Pokok  Seorang Wanita  Tugas pokok seorang wanita adalah mendidik dan membina sebuah generasi baru, dan menjaga  keharmonisan keluarga. Dengan demikian, tidak dibenarkan seorang wanita melakukan aktifitas yang dapat menjauhkannya, apalagi mencegahnya untuk melakukan tugas pokoknya  yang sangat berat ini. Selain itu akan meimbulkan kerugian pada masyarakat yang tak dapat diperbaiaki, karena kelalaian mereka tidak melaksanakan tangung jawabnya secara baik.Dan kepada mereka pun harus kita berikan dorongan semangat yang tinggi supaya mereka mau melakukan tugasnya itu secara baik, dan jangan sekali-kali kita benturkan mereka dengan kepribadian dan jati diri yang membuat mereka rendah diri dan malu melakukan aktifitas yang telah ditetapkan kepadanya. Karena kesempurnaan dan kepribadian setiap manusia adalah ketika ia dapat melakukan tugasnya secara baik dan benar.Oleh karena itu, hal terpenting yang harus diperhatikan  dalam mengikut sertakan wanita pada setiap bidang, adalah menerima mereka dalam berbagai tanggung jawab tanpa harus melalaikan  dan merusak kewajiban asli mereka yaitu mendidik generasi baru dan menjga keharmonisan keluarga.Point selanjutnya adalah, seorang wanita dalam melakukan aktifitasnya ditengah-tangah masyarakat harus menjaga batas-batas  legitimasi (ketetapan) syariat yaitu menjaga   hijab dan harga dirinya. Dan menjauhi segala bentuk pekerjaan yang mengarah pada  kemaksiatan. Permasalahan yang sangat besar adalah ketika sebuah pekerjaan sudah mengarah pada perbuatan dosa, karena hal ini dapat merusak akar  dan pondasi keluarga, juga akan  merendahkan keperibadian wanita itu sendiri. Oleh karena itu aktifitas mereka ditengah-tengah masyarakat dalam bidang sosial dan politik harus memperhatikan  dua kepentingan diatas.Dalam sejarah islam banyak kita temukan wanita-wanita mu’minah yang mengubah sejarah dengan mengorbankan diri  untuk kepentingan islam tanpa harus  melalaikan tugas pokok dan utama mereka. Sehingga nama mereka  diabadikan dalam sejarah, dan disejajarkan  dengan kaum laki-laki. Tidak diragukan lagi,  bahwa Zainab Kubro adalah salah satu wanita yang diketengahkan sebagai  contoh dan tauladan  bagi seluruh wanita dan bahkan laki-laki yang menginginkan kebebasan dan memerangi kezaliman.   
 Keperibadian Zainab binti Ali (as)
     Sebelum memaparkan persensi politik sayidah Zainab (sa) saya ingin sedikit membahas tentang sisi kehidupan   peribadi beliau. Zainab Kubro (sa) dibesarkan   dibawah bimbingan langsung ayah dan ibunya yang  mulia yaitu Imam Ali (as) dan Fatimah Az-Zahra putri Rasulallah, yang mana kedua orang tuanya memiliki ahlak dan keutamaan yang  sangat tinggi, sehingga beliau  memiliki sifat yang sempurna, Pidato yang  beliau  sampaikan di kufah dan syam mengingatkan semua orang akan pidato ayahnya Amirulmu’minin Ali (as). Dan beliau juga termasuk dari  salah satu perawi hadis, yang mana pada masa kecilnya, ketika umur beliau tidak lebih dari lima atau enam tahun, beliau mendengar pidato yang pernah disampikan oleh ibunya  dengan kandungan makna yang sangat tinggi, kemudian menukilnya untuk orang lain. Ibnu Abbas murid utama Imam Ali (as) dan seorang mufasir Qur’an menukil pidato   yang disampai  Fatimah Az-Zahra  tentang tanah padak  dari zainab, oleh karna itu beliau dijuluki sebagai  Aqillatuna yang artinya seorang yang berakal dan pintar dari keluarga kami. Kemudian dari sisi ibadah, beliau adalah seorang yang tidak pernah meninggalkan solat malamnya. Diriwayatkan bahwa ketika beliau  berada pada  masa-masa tawanan dan dalam keadaan yang sangat sulit, yang tidak memungkinkan baik dari sisi jasmani dan rohani untuk  beribadah, tetapi beliau tetap  beribadah dan melaksanakan solat malam.
Peranan Zainab Sampai Syahadah Imam Husain (as)
     Peranan Zainab sebelum Syahadah Imam Husain (as), sangat banyak sekali yang dapat kita kaji dari sejarah. Diantaranya adalah, bahwa beliaulah yang merawat dan menjaga  para wanita dan anak-anak kecil, terlebih-lebih Imam Sajjad (as) yang ketika itu sedang mengalami sakit parah. Imam Sajjad (as)berkata: “Pada malam Asyura saya duduk di dalam kemah, dan bibikku Zainab sedang merawatku”. Selain itu beliau juga adalah seorang penolong dan penasehat Imam Husain (as), khususnya pada hari Asyura. Namun yang terpenting dari itu semua adalah, Imam Husain (as) telah mempersiapkan saudara perempuannya itu untuk berani menerima tanggung jawab yang sangat tinggi dan mulia ini, diantaranya adalah: 
* Ketika Zainab di rumah Khuzaimah.
     Ummu Aiman menukil perkataan yang pernah disampaikan Zainab kepadanya yang menjelaskan bahwa: Zainab pada tahun-tahun sebelumnya, Sebelum terjadinya peristiwa Karbala, telah mendengarnya dari lisan kakeknya Rasulallah (saw) kabar tentang syahadah yang akan terjadi pada saudara laki-lakinya Imam Husain (as) . Tetapi sampai perjalanan beliau menuju Iraq, beliau belum pempunyai keyakinan yang pasti  bahwa semua peristiwa itu dalam waktu dekat akan terjadi pada Imam Husain (as). Oleh karena itu beliau berusaha semaksimal mungkin untuk menerima semua peristiwa pahit yang akan menimpa meraka. Iman Husein berkata” Wahai saudariku ! apa yang telah di tentukan Allah semua itu akan tejadi” disini Imam  menjelaskan pada  Zainab bahwa peristiwa itu akan terjadi dan Zainab harus menerima semua itu dengan sabar dan lapang dada. 
*Perbincangan Imam  Husain (as) dengan Zainab di hari Tasyu’a  Dihari  Tasyu’a (hari ke sembilan bulan Muharram) 
     Ketika  Umar Sa’ad menyuruh pasukannya untuk menyerbu Imam dari dua arah, Zainab berkata pada Imam “Wahai saudaraku apakah engkau tidak mendengar suara yang mendekati kita?” Imam Husain menjawab “ Wahai saudariku barusan dalam mimpiku kakekku Rasulallah, ayahku  Ali as,  ibuku Fatimah, dan kakakku Hasan mendatangiku dan mereka berkata bahwa sebentar lagi aku akan berkumpul dengan mereka.” Diriwayatkan bahwa ketika Zainab mendengar perkataan imam,  beliau memukul mukanya dan menangis. Imam Husain berkata “Wahai saudariku diamlah, jangan membuat para musuh menjadi senang”. 
*Penjelasan Imam pada malam  Asyura. 
     Di malam Asyura Imam menasehati Zainab agar tidak mendahulukan perasaannya dalam menghadapi segala masalah, saat itu Imam berkata:  Wahai saudariku takutlah pada Allah  dan bersabarlah menghadapi  segala cobaan, ketahuilah bahwa semua yang hidup di bumi ini akan mati, Dan apabila Allah menghendaki, semua isi dunia ini akan hancur. Hannya dengan kekuatan Allah semua yang ada di dunia  akan tercipta  dan dengan kekuatanNya  pula  semua  akan  musnah, karna Allah Maha Agung”. Ketika itulah Imam  memberi kekuatan pada Zainab agar tetap bersabar karena dialah yang membawa berita  tentang peristiwa yang terjadi di tanah Karbala

Sumber:Google.co.id

Asal Penciptaan Perempuan dalam Pandangan Islam

Perempuan

Berbicara mengenai kedudukan wanita dalam Islam, mengantarkan kita untuk terlebih dahulu melihat pandangan al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah:
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”. (Al-Hujurat ayat 13)
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan al-Qur’an mempunyai kedudukan terhormat. Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat al-Islam bahwa:
“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan”.[3]
Ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1 :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama). Dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, al-Biqa’i, Abu as-Su’ud, dan lain-lain. Bahkan at-Tabarsi (abad ke-6 Hijriah) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad Abduh, dalam tafsir al-Manar, tidak berpendapat demikian, begitu juga rekannya al-Qosimi, mereka memahami arti nafs dalam arti “jenis”. Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis tim penerjemah al-Qur’an Depertemen Agama R.I, adalah sebagai pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah (pasangannya) mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa. Karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, tanpa laki-laki perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu wanita bersifat auja (bengkok atau tidak lurus).
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian. Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang mengatakan: “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”. (H.R at-Tirmidzi dari Abu Hurairah ).
Hadis di atas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah namun beberapa ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan (kebenaran) hadis tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis di atas memperingatkan para laki-laki agar menghadapai perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dankecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. Bila tidak disadari akan mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar, mereka juga tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manarnya, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkan pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat oleh Tuhan seorang perempuan.
“Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab perjanjian lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”. [4]
Alamah Thabathaba’i (ra) dalam tafsirnya al-Mizan menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa:
“Perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat al-Qur’an yang dapat mengantarkan kita untuk mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki”.[5]
Bahkan kita dapat berkata bahwa banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat al-Isra’ ayat 70,
“Sesungguhnya kami telah memuliakan anak–anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan “.
Tentu kalimat anak-anak Adam mencakup laki-laki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun laki-laki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat al-Imran ayat 195 yang menyatakan :”Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”.
Ini juga berarti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kalimat ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaaan di antara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.
Menstrual Taboo[6] dan Perspektif Gender dalam Islam
Di antara kutukan terhadap perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut di berbagai belahan bumi. Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Prilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani, dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.
Darah menstruasi dianggap darah tabu dan perempuan yang sedang menstruasi, menurut kepercayaan agama Yahudi, harus hidup dalam gubuk khusus atau mengasingkan diri dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarga, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis makanan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis”, harus diwaspadai karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.
Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.[7]
Adapun kata kosmetik berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Istilah kosmetik yang sekarang ini dipakai untuk alat kecantikan wanita, lebih dekat kepada kata cosmetikos itu, yang berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota tubuh wanita untuk menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam.[8]
Dari sinilah asal usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan yang sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, lipstik, shadow, celak termasuk cadar/jilbab ternyata adalah Menstrual Creations.[9]
Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal usul penggunaan kerudung atau cadar atau semacamnya, bukan seperti yang dikenalkan oleh agama Islam melalui ayat-ayat jilbab dan hadis-hadis tentang aurat.
Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam agama Yahudi dan selanjutnya dalam Kristen. Dua agama besar sebelum Islam ini telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Islam men-ta’yid-kannya dalam rangka menyempurnakan cara penutupan atau hijab syar’i perempuan Islam. Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru daripada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami (… the women going aut in public places with uncovered constituted legitimate cause for divorce…).
Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropolog, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah si “mata iblis” dalam melakukan aksinya.
Penggunaan cadar/kerudung pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstrual. Kerudung dan semacamnya juga bertujuan untuk menutupi mata dari cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal-hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.
Kerudung dan semacamnya juga dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingkan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non bangsawan.
Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual huts menjadi cadar juga dilakukan di New Guinea, British, Colombia, Asia dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lain-lain, bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Selain menggunakan cadar wanita haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla’) di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari tengkorak kapala manusia.
Haid dalam Islam
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Kata haid adalah istilah khusus dalam al-Qur’an yang tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Munjid fi al-Lughah kata haid, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hâdha-haydhan yang diartikan dengan darah yang keluar dari rahim wanita dalam waktu dan jenis tertentu.[10]
Dalam al-Qur’an ia hanya disebutkan sekali dalam bentuk fi’il mudhori’/present and future (yahidh) dan tiga kali dalam bentuk isim masdhar (al-Mahidh), yaitu di dalam surat at-Thalak ayat 4 dan al-Baqarah ayat 222.
Dari segi penamaannya, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti dalam agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222 menjelaskan masalah haid sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah: Haid adalah kotoran, oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci: apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” .
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad dari Anas, bahwa salah seorang sahabat menanyakan kepada Nabi perihal perempuan Yahudi yang apabila sedang haid, masakannya tidak dimakan dan ia tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Nabi diam sebentar dan turunlah ayat tersebut. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda: “Lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”. Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, akibatnya orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu, tiba-tiba dianggap sebagai hal yang alami.
Rasulullah saww dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid.”Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”. Rasulullah dalam riwayat lain bersabda: “Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’ )”. Bahkan Rasul seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang disampaikan A’isyah, antara lain A’isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dengan Rasulullah sedang ia dalam keadaan haid. Ia juga pernah menceritakan Rasul melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haid, Rasul juga sama sekali tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadap darah haid dan bekasnya yang ada di pakaian A’isyah. [11]
Demikian beberapa cuplikan masalah perempuan yang sempat dimuat dalam tulisan ini yang dianggap kontroversi dalam ketiga agama besar dunia tersebut. Tetapi pandangan terbaik yang menempatkan perempuan pada posisinya dan menghargai nilai kemanusiaannya, dapat kita lihat dari apa yang diutarakan secara gamblang oleh agama Islam. Tentu saja setelah mengadakan pengkajian, mengingat informasi Islam sejak berangkat dari sumber aslinya, telah melintasi perjalanan panjang sejarah sehingga ketika sampai ke tangan kita nilai keasliannya mungkin saja telah terbungkus berbagai pengaruh teologi lain dan pandangan metafora umat.

Sumber:Google.co.id

Manfaat Jilbab Menurut Islam











 Allah memerintahkan sesuatu pasti ada manfaatnya untuk kebaikan manusia. Dan setiap yang benar-benar manfaat dan dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, pasti disyariatkan atau diperintahkan oleh-Nya. Di antara perintah Allah itu adalah berjilbab bagi wanita muslimah.  Berikut ini beberapa manfaat berjilbab menurut Islam dan ilmu pengetahuan.

1.    Selamat dari adzab Allah (adzab neraka)

“Ada dua macam penghuni Neraka yang tak pernah kulihat sebelumnya; sekelompok laki-laki yang memegang cemeti laksana ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, sesat dan menyesatkan, yang dikepala mereka ada sesuatu mirip punuk unta. Mereka (wanita-wanita seperti ini) tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. Sedangkan bau surga itu tercium dari jarak yang jauh” (HR. Muslim).

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang” ialah mereka yang menutup sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian lainnya dengan maksud menunjukkan kecantikannya.

    “Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang” ialah mereka yang menutup sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian lainnya dengan maksud menunjukkan kecantikannya.

2.    Terhindar dari pelecehan

Banyaknya pelecehan seksual terhadap kaum wanita adalah akibat tingkah laku mereka sendiri. Karena wanita merupakan fitnah (godaan) terbesar. Sebagaiman sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, “Sepeninggalku tak ada fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhari)

Jikalau wanita pada jaman Rasul merupakan fitnah terbesar bagi laki-laki padahal wanita pada jaman ini konsisten terhadap jilbab mereka dan tak banyak lelaki jahat saat itu, maka bagaimana wanita pada jaman sekarang??? Tentunya akan menjadi target pelecehan. Hal ini telah terbukti dengan tingginya pelecehan di negara-negara Eropa (wanitanya tidak berjilbab).

3.    Memelihara kecemburuan laki-laki

Sifat cemburu adalah sifat yang telah Allah subhanahu wata'ala tanamkan kepada hati laki-laki agar lebih menjaga harga diri wanita yang menjadi mahramnya. Cemburu merupakan sifat terpuji dalam Islam.

“Allah itu cemburu dan orang beriman juga cemburu. Kecemburuan Allah adalah apabila seorang mukmin menghampiri apa yang diharamkan-Nya.” (HR. Muslim)

Bila jilbab ditanggalkan, rasa cemburu laki-laki akan hilang. Sehingga jika terjadi pelecehan tidak ada yang akan membela.

4.    Akan seperti biadadari surga

“Dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang menundukkan pandangannya, mereka tak pernah disentuh seorang manusia atau jin pun sebelumnya.” (QS. Ar-Rahman: 56)

“Mereka laksana permata yakut dan marjan.” (QS. Ar-Rahman: 58)

“Mereka laksan telur yang tersimpan rapi.” (QS. Ash-Shaffaat: 49)

Dengan berjilbab, wanita akan memiliki sifat seperti bidadari surga. Yaitu menundukkan pandangan, tak pernah disentuh oleh yang bukan mahramnya, yang senantiasa dirumah untuk menjaga kehormatan diri. Wanita inilah merupakan perhiasan yang amatlah berharga.

    Dengan berjilbab, wanita akan memiliki sifat seperti bidadari surga.

5.    Mencegah penyakit kanker kulit

Kanker adalah sekumpulan penyakit yang menyebabkan sebagian sel tubuh berubah sifatnya. Kanker kulit adalah tumor-tumor yang terbentuk akibat kekacauan dalam sel yang disebabkan oleh penyinaran, zat-zat kimia, dan sebagainya.

Penelitian menunjukkan kanker kulit biasanya disebabkan oleh sinar Ultra Violet (UV) yang menyinari wajah, leher, tangan, dan kaki. Kanker ini banyak menyerang orang berkulit putih, sebab kulit putih lebih mudah terbakar matahari.

Kanker tidaklah membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Hanya saja, wanita memiliki daya tahan tubuh lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, wanita lebih mudah terserang penyakit khususnya kanker kulit.

Oleh karena itu, cara untuk melindungi tubuh dari kanker kulit adalah dengan menutupi kulit. Salah satunya dengan berjilbab. Karena dengan berjilbab, kita melindungi kulit kita dari sinar UV. Melindungi tubuh bukan dengan memakai kerudung gaul dan baju ketat. Kenapa? Karena hal itu percuma saja. Karena sinar UV masih bisa menembus pakaian yang ketat apalagi pakaian transparan. Berjilbab disini haruslah sesuai kriteria jilbab.

6.    Memperlambat gejala penuaan

Penuaan adalah proses alamiah yang sudah pasti dialami oleh semua orang yaitu lambatnya proses pertumbuhan dan pembelahan sel-sel dalam tubuh. Gejala-gejala penuaan antara lain adalah rambut memutih, kulit keriput, dan lain-lain.

Penyebab utama gejala penuaan adalah sinar matahari. Sinar matahari memang penting bagi pembentukan vitamin Dyang berperan penting terhadap kesehatan kulit. Namun, secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa sinar matahari merangsang melanosit (sel-sel melanin) untuk mengeluarkan melanin, akibatnya rusaklah jaringan kolagen dan elastin. Jaringan kolagen dan elastin berperan penting dalam menjaga keindahan dan kelenturan kulit.

    Jilbab adalah kewajiban untuk setiap muslimah.

Krim-krim pelindung kulit pun tidak mampu melindungi kulit secara total dari sinar matahari. Sehingga dianjurkan untuk melindungi tubuh dengan jilbab.

Jilbab adalah kewajiban untuk setiap muslimah. Dan jilbab pun memiliki manfaat. Ternyata tak sekedar membawa manfaat ukhrawi namun banyak juga manfaat duniawinya. Jilbab tak hanya sekedar menjaga iman dan takwa pemakainya, namun juga membuat kulit terlindungi dari penyakit kanker dan proses penuaan.

    Ternyata jilbab tak sekedar membawa manfaat ukhrawi namun banyak juga manfaat duniawinya.

    Jilbab tak hanya sekedar menjaga iman dan takwa pemakainya, namun juga membuat kulit terlindungi dari penyakit kanker dan proses penuaan.

Demikianlah Allah memberi kasih sayangnya kepada wanita melalui syariat islam yang sempurna.



Sumber:Google.co.id

Wanita di dalam Islam


Kaum feminis bilang susah jadi wanita ISLAM, lihat saja peraturan-peraturan dibawah ini:
  1. Wanita auratnya lebih susah dijaga dibanding lelaki.
  2. Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.
  3. Wanita persaksiannya kurang dibanding lelaki.
  4. Wanita menerima pusaka (warisan) kurang dari lelaki.
  5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.
  6. Wanita wajib taat kpd suaminya tetapi suami tak harus selalu taat pada isterinya.
  7. Talak terletak di tangan suami dan bukan isteri.
  8. Wanita kurang dalam beribadat karena masalah haid dan nifas yang tak ada pada lelaki.
Makanya kaum feminisme nggak capek-capeknya berpromosi untuk MEMERDEKAKAN WANITA ISLAM. Tetapi, pernahkah kita lihat sebaliknya (kenyataannya)?
  1. Benda yang mahal harganya tentu akan dijaga dan dibelai serta disimpan di tempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tidak akan dibiarkan terserak bukan? Itulah analogi seorang wanita Islam.
  2. Wanita perlu taat kepada suami tetapi lelaki wajib taat kepada ibunya tiga kali lebih utama dari bapaknya. Bukankah ibu adalah seorang wanita?
  3. Wanita menerima pusaka kurang dari lelaki tetapi harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya. Sebaliknya, manakala lelaki menerima pusaka perlu menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anaknya!
  4. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak, tetapi setiap saat itu dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di muka bumi ini, dan meninggalnya jika karena melahirkan adalah syahid.
  5. Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggungjawabkan terhadap 4 wanita ini : isterinya, ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya. Sebaliknya, seorang wanita tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki ini : suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya.
  6. Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu syurga mana pun yang disukainya cukup dengan 4 syarat saja : shalat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat suaminya dan menjaga kehormatannya.
  7. Seorang lelaki perlu pergi berjihad fisabilillah, tetapi wanita jika taat kepada suaminya serta menunaikan tanggung jawabnya kepada ALLAH maka wanita itu akan turut menerima pahala seperti pahala orang pergi berperang fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.
  8. Kewajiban suami adalah menjaga istrinya dan tidak boleh membiarkannya bekerja dalam rumah tangga. Sehingga kewajiban suami terhadap istrinya adalah mempekerjakan seorang pembantu untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga sehari – hari. Namun, bila seorang suami tidak mampu secara ekonomi untuk merekrut seorang pembantu, maka otomatis istrinya yang melaksanakan pekerjaan rumah tangga sehari – hari, dan itu dihitung sebagai sedekah.
Masya ALLAH…. demikian sayangnya ALLAH pada wanita… kan?

 Sumber : Google.co.id

PERAN WANITA DALAM ISLAM



Wanita sebagai hamba Allah yang lemah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpanya, kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas kehidupan, di situ ada wanita.

Peranan Wanita dalam Mendidik Umat

Syauqi mengatakan "Ibu ibarat madrasah, jika kau persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi keringatnya."

Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut senang.

Kemudian bertambah hari, minggu dan bulan, yang pada wakunya ia terlahir ke muka bumi. Dari enol hari, ia sudah berusaha memahami apa yang diajarkan oleh seorang ibu. Bila seorang ibu membiasakan anaknya dari kandungan sampai dewasa dengan adab-adab Islam, ia pun akan terbiasa dengan hal itu. Tapi sebaliknya, bila ibu membiasakan dengan adab-adab yang tidak Islami, ia pun akan ikut seperti ibunya. Saat inilah shibgah seorang ibu sangat berpengaruh pada anak. Karena perkembangan otak sangat cepat. Daya ingat masih kuat. Bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :

Tarbiyah Ruhiyyah

1. Pendidikan Akidah

Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku ikuti dan dijadikan idola ? Dan seterusnya.

2. Pendidikan Ibadah

Ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam melakukan ibadah harian. Seperi: sholat, puasa, membaca Alquran, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Walau mungkin anak tidak paham apa yang dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan mendengar, sehingga takkan terasa berat menjalaninya.

3. Pendidikan Akhlak

Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak dewasa. Dari sini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan.

Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.

Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik, pintar, atau kaya tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia.

Tarbiyyah Aqliyyah

Kata seorang penulis puisi, "Otak tidak diasah, akan tumpul". Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar. Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam. Dalam nasyid juga disebutkan, "Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di atas batu". Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini. Jangan sembarangan dalam memberikan buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Cukup banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam.

Tarbiyah Jasadiyyah

Pendidikan inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu berupa olah-raga balita, sangat membantu anak dalam perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak.

Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti orangdewasa. Contoh kecilnya, ketika lahir, Rasulullah menyuruh para orang tua untuk mentahniq dengan memijat langit-langit mulut agar mampu mengisap air susu ibunya. Olah raga atau tarbiyyah jasadiyyah ini tidak terbatas pada usia balita, tapi bahkan sampai dewasa dan tua.

Peran Wanita dalam Mendampingi Suami

Suami shalih kebanyakan dibelakangnya ada istri shalihah. Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak mampu menngendalikannya sendiri. Nah, saat-saat seperti inilah peran dan batuan istri sangat dibutuhkan. Istri yang shalehah selalu memberi dorongan untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam menapaki duri-duri jalanan, memberi bensin untuk tetap berjalan di atas rel Islam. Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar.

Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami dulunya kurang baik setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab itu, wahai para ibu-ibu shalihah marilah kita dukung suami kita untuk menjadi suami yang shalih. Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya Islam di muka bumi dengan tidak membebaninya dengan tugas-tugas rumah yang mana pabila kita mengerjakannya dengan ikhlas, kita akan dapat pahala dan suami kita semakin sayang pada kita.

Semangat di medan dakwah dan juang, marilah kita berikan waktu seluas-luasnya pada suami kita untuk mencurahkan waktu hidupnya untuk Islam tercinta. Istri selain sebagai motor bagi suami, ia juga dibebani kewajiban-kewajiban terhadap suaminya agar tercipta keluarga-keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Karena dari keluarga inilah akan terbentuk mujamaâ mitsaly dan dari mujtamaâ mujtamaâ ini akan terbentuk daulah Islamiyyah.

Di antara kewajiban istri terhadap suami adalah :

1. Taat Suami
2. Tidak keluar rumah tanpa idzin suami
3. Tidak menjauhi tempat tidur suami
4. Iffah
5. Qona'ah dan ridlo dengan apa yang Allah berikan.
6. Berhias dan memakai wangi-wangian
7. Melaksanakan tugas-tugas rumah tangga
8. Mendidik anak-anak
9. Berlemah lembutdan berkata-kata manis.

Sembilan point ini bila kita mampu untuk menjalankan semua, Insya Allah suami bahagia di rumah dan semangat di medan dakwah. Wahai para ibu, jangalah engkau nyalakan api di keluargamu disebabkan kelalaianmu atas kewajibanmu terhadap suami.

Peran Wanita Dalam Menegakkan Negara
 A. Peran Wanita dalam Dakwah
    Di samping wanita sebagai ibu rumah tangga dan pendidik generasi, ia dalam satu waktu juga berperan sebagai pendidik para pemudi-pemudi dan ibu-ibu. Di dalam rumah ia pendidik anak-anak, sedang di luar rumah ia pendidik sebagian anggota masyarakat.
Jumlah wanita di dunia ini lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Bila potensi ini tidak diarahkan dan dididik dengan baik, ia akan menjadi penghancur masyarakat, negara bahkan dunia. Suatu masyarakat dikatakan berhasil, bila wanitanya berakhlak mulia. Wanita bagaikan mahkota, bila mahkota baik, maka seluruhnya akan kelihatan cantik dan bagus. Tapi bila mahkotanya rusak, maka yang lainpun tidak ada artinya apa-apa.

Seorang wanita tidaklah cukup berkutat dalam rumah saja sebagai IRT, karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Apalagi pada saat ini, umat sedang mengalami penurunan akidah, moral dan ibadah. Wanita tak segan-segan lagi melepas jilbabnya. Bahkan menanggalkan pakaian muslimahnya, justru pakaian-pakaian barat, pakaian orang kafir yang menjadi kebanggan mereka. Tidak malu-malu lagi wanita menggandeng, ngobrol, pegang sana pegang sini dengan laki-laki bukan mahram. Pergi berduaan tanpa merasa berdosa.

Berkhalwat dengan alasan urusan organisasi, kantor dan sebagainya. Tidak sampai di situ saja, bahkan lebih dari itu. Oleh sebab itu tugas kita adalah mentarbiyah diri kita, anak-anak dan seluruh lapisan masyrakat, khususnya kaum wanita. Sedang kaum lelaki, akan dididik oleh para suami dan pemuda-pemuda yang akan mentarbiyah mereka. Bahu membahu antara kita dan suami akan menciptakan sebuah masyarakat Islami, yang pada akhirnya akan menjadi sebuah negara Islam.

Adalah Ummu Syarik, setelah masuk Islam, beliau mendakwahi wanita-wanita Qurasiy secara diam-diam dan mengajak mereka menerima Islam. Zainab Al-Ghazali adalah di antara figur wanita modern penerus Ummu Syarik. Meskipun wanita dibolehkan keluar rumah -khususnya berdakwah- namun tetap ada batasan-batasan seputar pakaian:

- Pakaian harus menutup seluruh anggota tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan (dalam hal ini para ulama berbeda pendapat).
- Pakaian tidak menarik perhatian.
- Pakaian tidak sempit.
- Tidak pendek bagian bawahnya.
- Tidak beraroma minyak wangi.
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki, karena Rasulullah melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki.
- Tidak memakai pakaian dengan maksud agar terkenal di antara manusia.

B. Peran Wanita dalam Peperangan dan Jihad
      Peperangan pada hakekatnya diwajibkan atas laki-laki, kecuali pada waktu-waktu darurat. Tapi tidak menutup kemungkinan perempuan ikut andil di dalamnya. Di antara perannya dalam hal ini adalah memberikan minuman, mengobati yang luka-luka akibat perang, menyiapkan bekal dan lain-lain. Bila para wanita melakukan hal ini dengan ikhlas, pahalanya sama dengan orang yang berjihad.

Sejarah pun telah menuliskan dengan tinta emas, peranan wanita dalam peperangan. Ketika perang Yarmuk, Khalid bin Walid sebagai panglimanya menugaskan wanita, diantaranya Khansa', untuk berbaris di belakang barisan laki-laki, tapi jaraknya agak jauh sedikit. Tugas mereka adalah menghalau prajurit laki-laki yang melarikan diri dari medan perang. Mereka dibekali pedang, kayu dan batu. Shafiyah binti Abdul Muthalib juga pernah membunuh seorang Yahudi pengintai. Dan banyak lagi contoh-contoh yang nyata yang dapat menjadi suri tauladan bagi kita.

Sumber : Google.co.id

6 Batas Pergaulan Antara Lelaki dan Perempuan Dalam Islam

Bookmark and Share
Etika pergaulan dan batas pergaulan di antara lelaki dan wanita menurut Islam

1.Menundukkan pandangan:
ALLAH memerintahkan kaum lelaki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-NYA; Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (An-Nuur: 30)
Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada kaum wanita beriman, ALLAH berfirman; dan katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (An-Nuur: 31)

2.Menutup Aurat:
ALLAH berfirmajn  dan angan lah mereka mennampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya.dan hendaklah mereka melabuhkan kain tudung ke dadanya. (An-Nuur: 31) Juga Firman-NYA; Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka melabuhkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, kerana itu mereka tidak diganggu. dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nuur: 59).
Perintah menutup aurat juga berlaku bagi semua jenis. Dari Abu Daud Said al-Khudri .a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seseorang lelaki memandang aurat lelaki, begitu juga dengan wanita jangan melihat aurat wanita.

3. Adanya pembatas antara lelaki dan wanita;
Kalau ada sebuah keperluan terhadap kaum yang berbeza jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firman-NYA;  dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab. (Al-Ahzaab: 53)

4. Tidak berdua-duaan di antara lelaki dan Perempuan;
Dari Ibnu Abbas .a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya. (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim)
Dari Jabir bin Samurah berkata; Rasulullah SAW bersabda: Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duan dengan seorang wanita, kerana syaitan akan menjadi ketiganya. (Hadis Riwayat Ahmad & Tirmidzi dengan sanad yang sahih)

5. Tidak melunakkan ucapan (Percakapan):
Seorang wanita dilarang melunakkan ucapannya ketika berbicara selain kepada suaminya. Firman ALLAH SWT; Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (berkata-kata yang menggoda) sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya tetapi ucapkanlah perkataan-perkataan yang baik. (Al-Ahzaab: 32)
Berkata Imam Ibnu Kathir; Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh ALLAH kepada para isteri Rasulullah SAW serta kepada para wanita mukminah lainnya, iaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam pengertian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya. (Tafsir Ibnu Kathir 3/350)

6. Tidak menyentuh kaum berlawanan jenis:
Dari Maqil bin Yasar .a. berkata; Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik daripada menyentuh kaum wanita yang tidak halal baginnya. (Hadis Hasan Riwayat Thabrani dalam Mujam Kabir) Berkata Syaikh al-Abani Rahimahullah; Dalam hadis ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (Ash-Shohihah 1/44 Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membaiat dan lain-lainnya. Dari Aishah berkata; Demi ALLAH, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat. (Hadis Riwayat Bukhari)
Inilah sebahagian etika pergaulan lelaki dan wanita selain mahram, yang mana apabila seseorang melanggar semuanya atau sebahagiannya saja akan menjadi dosa zina baginya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW; Dari Abu Hurairah .a. dari Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya ALLAH menetapkan untuk anak adam bahagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya. (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim & Abu Daud)
Padahal ALLAH SWT telah melarang perbuatan zinadan segala sesuatu yang boleh mendekati kepada perbuatan zina. Sebagaimana Firman-NYA; dan anganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (al-Isra: 32) 
 
 Sumber : Google.co.id

Kedudukan wanita dalam Islam

Saat kebudayaan jahiliyah merampas kebebasan wanita, Islam datang dengan membawa sinar kebenaran dan kemerdakaan yang hakiki. Islam telah mengakui hak kehidupannya dan menyatakan kesamaannya dengan pria dalam hal keturunan. Allah swt berfirman: “Wahai manusia bertakwalah engkau kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa, dan daripanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (QS an-Nisa’: 1)

Tiada agama atau ajaran yang menghormati dan mendudukkan wanita pada tempatnya yang hakiki kecuali Islam. Islam memberikan kebebasan kepada kaum wanita untuk mengekspresikan kehalusan jiwanya dalam kehidupan sehari-hari. Kebebasan itu diatur oleh Islam, agar mereka mempunyai andil yang besar dalam pembangunan peradaban umat.

Oleh itu, kebebasan tersebut harus tetap berada dalam koridor agama yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Segala macam bentuk kebebasan yang tidak bertumpu pada keduanya, maka akan membawa akibat buruk yang dapat menghancurkan peradaban itu sendiri.

Wanita, khususnya seorang ibu muslimah, adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya dalam menata masa depannya. Kebaikan dan keburukan seorang anak, sangat dipengaruhi oleh kepribadian & akhlak dari sang ibu dalam mendidik anaknya.

Saat kebudayaan jahiliyah merampas kebebasan wanita, Islam datang dengan membawa sinar kebenaran dan kemerdakaan yang hakiki bagi tiap-tiap umatnya. Islam telah mengakui hak kehidupannya dan menyatakan kesamaannya dengan pria dalam hal keturunan. Allah SWT berfirman : “Wahai manusia bertakwalah engkau kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa, dan daripadanya, Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (QS an-Nisa’: 1).

Islam, melarang untuk menangisi kelahiran anak perempuan, seperti dalam firman Allah : “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya menahan amarah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak, karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan ”. (QS an-Nahl: 58-59) .

Perhatikanlah, bagaimana kekafiran dapat menutup mata hatinya dengan memandang kelahiran anak perempuan sebagai suatu berita buruk yang membuat mereka malu dalam masyarakatnya. Dengan wajah yang merah padam, mereka menghilang dari kerumunan manusia menahan rasa malu. Sungguh sebuah kebodohan yang tak terkira yang diakibatkan oleh gelapnya kekafiran.

Mari kita bandingkan bagaimana Islam menyikapi kelahiran anak perempuan, Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang diuji dengan (kelahiran) anak perempuan itu, maka mereka (anak perempuan itu) akan menjadi penghalangnya dari api neraka”. (HR Bukhari)

Keindahan budi pekerti Rasulullah saw dalam menyikapi masalah tersebut telah menegaskan sikap Islam yang sebenarnya dalam menghormati para wanita. Betapa besarnya perbedaan sikap seseorang yang kepribadiannya dibangun di atas ajaran yang lurus dengan kepribadian yang berkembang dalam kebodohan dan kekufuran.

Diantara penghormatan Islam yang cukup tinggi kepada para wanita bahwa Islam -untuk pertama kali- telah membebaskan para wanita dari dosa abadi yang didakwakan kepada mereka sebagai penyebab utama keluarnya Adam A.S dari surga lewat godaannya agar Adam memakan buah yang dilarang oleh Allah SWT.

Islam telah mengabarkan bahwa keduanya adalah korban dari godaan syetan. “Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula”. (QS al-Baqarah: 36)

Islam telah memerintahkan umatnya untuk menghormati, menghargai dan mendidik wanita dengan cara yang baik. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memiliki tiga saudari atau dua anak putri atau dua saudari dan memperlakukannya dengan baik dan bertakwa maka ia akan masuk surga”. (HR Tirmidzi)

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai anak perempuan lalu ia mengajari dan mendidiknya dengan baik dan kemudian menikahkannya, maka ia telah mendapat dua pahala”. (HR Bukhari)

Islam telah meminta umatnya untuk memperlakukan para wanita dengan baik. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. (QS al-Baqarah: 228). Bahkan Rasulullah SAW telah menjadikan wanita sebagai sebaik-baik hiasan dunia. Beliau bersabda: “Dunia adalah hiasan dan sebaik-baiknya hiasan dunia, wanita shalihah.”(HR.Muslim). Hadist Persamaan Hak antara Laki-Laki dan Wanita

Allah SWT juga menjadikan wanita sebagai hamba-Nya yang berhak untuk melakukan ibadah dan mendapatkan pahala sama seperti apa yang diberikan kepada laki-laki.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih dari laki-laki dan perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An-Nahl : 97).

Wanita juga berhak memilih dan menentukan pendamping hidupnya. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai diajak musyawarah dan seorang gadis dimintakan izinnya”. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW memberikan hak bagi seorang janda untuk ikut bermusyawarah dalam menentukan pendamping hidupnya. Begitu juga seorang gadis yang pemalupun harus dimintakan persetujuannya. “Para sahabat bertanya : Ya rasulullah bagaimana bentuk persetujuannya? Beliau berkata: “Diamnya”. (HR Bukhari dan Muslim) .

Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita; akan tetapi Islam hanya mengatur tugas masing-masing sesuai dengan fitrah dan sifat dasarnya. Karena disitulah terletak rahasia kebaikan suatu tatanan masyarakat. Lihatlah bagaimana ketika Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah apakah ada kewajiban berjihad bagi para wanita ?” Beliau berkata: “Ya, mereka mempunyai kewajiban berjihad akan tetapi tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu “ haji dan umrah”. (HR Ahmad) .

Begitu pula, bahwa Islam tidak melarang seorang wanita untuk berkarir akan tetapi tetap dalam bingkai Syariah Islamiyah. Mereka juga dapat menjadi seorang pemimpin, akan tetapi wilayah kepemimpinnya berbeda dengan wilayah kepemimpinan pria .

Mereka bertanggung jawab untuk menjadikan rumah tangganya sebagai surga bagi seluruh anggota keluarganya dan juga bertanggung jawab untuk memimpin anak-anaknya menjadi penerus agama, yang dengannya kebudayaan peradaban kemanusian akan berlangsung .

Jadi, Islam sejak awal sejarahnya telah menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sebagaimana tertera dalam ayat Allah dan hadits di atas. Akan tetapi cara dan tujuan Islam dalam memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda dengan konsep feminisme modern yang cenderung mengarah pada kerusakan moral dengan tanpa memperhatikan perbedaan sifat dasar dari wanita itu sendiri.

Padahal Allah SWT telah menjamin adanya perbedaan kemampuan antara laki-laki dan wanita, sebagaimana penafsiran sebagian ulama pada firman Allah: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian apa yang mereka usahakan”. (QS an-Nisa:32)

Untuk memelihara dua hal itulah Islam kemudian menyeimbangkan antara persamaan hak wanita dan laki-laki dengan fitrah yang dimilikinya. Para wanita juga berhak menjadi pemimpin akan tetapi wilayahnya di mana ia menjadi seorang figure yang tepat; yaitu mendidik anak-anak dan menjadikan rumah tangganya sebagai surganya.

Oleh karenanya, sabda Rasulullah SAW tadi, telah menjadi solusi terbaik dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaum hawa. Karenanya, waspadalah dengan slogan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak Islam dengan menjadikan para wanita sebagai fitnah. Rasulullah SAW bersabda : “ Sesungguhnya fitnah yang pertama menimpa Bani Israil adalah wanita ”. Wallahua’lam.

Sumber : Google.co.id

Perawatan rambut untuk Wanita Berjilbab

Rambut sebagai mahkota wanita sudah seharusnya dirawat. tidak terkecuali bagi wanita berjilbab yang rambutnya sering tertutup dengan jilbab mereka. loh terus bagaimana merawat rambut mereka? simak tips perawatan rambut untuk wanita berjilbab di bawah ini ya :
1. Setelah keramas, pastikan rambut benar-benar kering. Ini untuk menjaga agar rambut tidak lembab dalam kerudung
2. Pilihlah kerudung dan baju muslim yg terbuat dari bahan katun atau kaos, sehingga menyerap keringat waktu Anda beraktivitas. Selain itu, bahan katun/kaos memiliki pori-pori yg besar sehingga memudahkan sirkulasi udara dalam kerudung Anda
3. Hindari model kerudung yang berlapis dan kencang, untuk memudahkan rambut Anda untuk ‘bernafas’
4. Pilih warna kerudung yg tepat sesuai dgn waktu dan tempat Anda beraktivitas. Jika pagi hari lebih baik mengenakan kerudung berwarna putih atau terang dan berbahan lembut. Hindari warna hitam karena akan menyerap sinar matahari.

5. Jika anda berambut panjang, hindari menggunakan ikatan yg kencang agar rambut Anda tidak patah.
6. Biarkan rambut Anda terurai saat tdk mengenakan jilbab. Biarkan rambut Anda ‘berisitrahat’ dulu.
7. Keramaslah menggunakan bahan yang alami dgn frekuensi yg teratur. Tiap orang mungkin akan bervariasi namun yang penting adalah keteraturan. Sekarang ini sudah banyak shampo yang di rancang khusus untuk kebutuhan wanita berjilbab.
8. Gunakan sisir dengan gigi yg jarang untuk menghindarkan kerontokan. Usahakan menyisir dgn halus ke kulit kepala karena ini sama saja dgn memberikan pemijatan refleksi ke kepala Anda yg efeknya bisa membantu kesuburan rambut Anda.
9. Bagi Anda yg memiliki waktu luang, usahakan creambath dan spa di salon untuk menjaga kecantikan rambut Anda. Jangan lupa lho, pilih salon muslimah yang stafnya wanita semua. anda bisa simak di google lokasi salon muslimah yang dekat dengan tempat anda.
Semoga tips diatas bisa membantu anda yang menggunakan jilbab untuk menjaga kesehatan rambut anda. selamat mencoba

 Sumber : Google.co.id

BAGAIMANA HUKUM ISLAM MENGENAI LAGU DAN MUSIK?


Sebuah pertanyaan yang telah dilontarkan oleh banyak orang di berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda-beda. Sebuah pertanyaan yang jawabannya banyak diperselisihkan oleh sebagian besar kaum Muslimin dan menimbulkan sikap yang berbeda-beda dari mereka akibat dari jawaban mereka yang berbeda-beda pula. Di antara mereka ada yang membuka kedua telinganya untuk mendengar segala macam lagu dan musik dengan alasan bahwa itu semua halal dan merupakan kenikmatan hidup yang diperbolehkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Tetapi sebagian mereka ada yang mematikan radio atau menutup kedua telinganya ketika mendengar lagu apa pun dengan alasan bahwa sesungguhnya lagu itu seruling syetan dan lahan permainan yang dapat menghalang-halangi dari dzikrullah dan shalat. Terutama jika yang menyanyikan itu wanita, karena suara wanita itu sendiri menurut dia adalah aurat apalagi nyanyiannya. Dan mereka berdalil dengan ayat-ayat dan hadits-hadits serta beberapa pendapat ulama.
Di antara mereka ada yang menolak segala bentuk musik dari dua kelompok di atas, yaitu kadang-kadang ia sependapat dengan mereka dan kadang-kadang ikut pendapat yang lainnya. Kelompok ketiga ini selalu menunggu keputusan dan jawaban yang tuntas dari ulama Islam tentang masalah yang sangat penting ini. Yaitu yang berkaitan dengan perasaan manusia sehari-hari, terutama setelah masuknya siaran radio maupun televisi ke rumah-rumah mereka dengan segala macam dan ragam acaranya yang serius maupun hiburan yang menarik telinga mereka untuk mendengarkan lagu-lagu dan musik yang disuguhkan, senang atau tidak.
Lagu, apakah disertai musik atau tidak, tetap menjadi permasalahan yang memancing perdebatan pendapat para ulama Islam sejak masa-masa pertama kali, sehingga mereka sepakat memperbolehkan dalam persyaratan tertentu dan mereka berselisih dalam kondisi lainnya.
Mereka sepakat untuk mengharamkan segala bentuk lagu yang mengandung perkataan yang kotor, pornografi, kefasikan atau mendorong seseorang untuk maksiat. Karena lagu tidak lain kecuali ucapan, maka yang baik menjadi baik dan yang buruk tetap saja buruk. Setiap ucapan yang mengandung keharaman menjadi haram. Maka bagaimana perasaanmu jika bergabung antara sajak, langgam dan perangsang?
Mereka juga bersepakat atas bolehnya lagu-lagu yang baik yang menyentuh fitrah serta bersih dari alat-alat musik dan perangsang, demikian itu pada saat-saat gembira seperti pesta perkawinan, kedatangan tamu dan pada saat hari-hari raya dan yang lainnya. Dengan syarat yang menyanyi bukan seorang wanita di hadapan laki-laki asing (yang bukan muhrimnya). Dan ini berdasarkan nash-nash yang sharih (jelas) yang akan kami jelaskan.
Ulama juga berselisih tentang selain yang tersebut di atas dengan perselisihan yang nyata. Sebagian mereka ada yang memperbolehkan segala bentuk nyanyian (lagu), baik dengan musik atau tidak, bahkan mereka menganggap itu mustahab (disukai). Dan ada sebagian mereka yang menolak lagu-lagu apabila menggunakan alat musik dan memperbolehkan apabila tidak memakai alat musik. Sebagian yang lain ada yang melarang secara mutlak, memakai alat musik ataupun tidak, dan menganggap itu perbuatan haram, bahkan sampai ke tingkatan dosa besar.
Karena pentingnya tema (masalah) ini maka kita harus menjelaskan secara rinci dan menyampaikan sekilas penjelasan tentang sisi-sisi yang diperselisihkan. Agar jelas bagi seorang Muslim antara yang halal dan yang haram dengan mengikuti dalil yang kuat dan terang, bukan asal ikut-ikutan, dengan demikian maka menjadi jelas dan benar dalam memahami agamanya.


Sumber : Google.co.id

AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNKAR

Inilah kewajiban atau syi'ar yang kelima atau syi'ar yang ada, kewajiban ini merupakan baju pelindung bagi syi'ar-syi'ar lainnya. Barangkali akan membuat terkejut bagi sebagian orang jika kewajiban amar maÕruf nahi munkar ini termasuk kewajiban-kewajiban yang asasi dalam Islam, karena selama ini yang terkenal adalah empat yang telah disebutkan pertama.

Tetapi bagi siapa saja yang mau mempelajari Al Qur'an dan As-Sunnah dia akan menemukan bahwa itu lebih jelas dan terang dari terangnya sinar fajar.
Al Qur'an telah menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai keistimewaan yang pertama yang dimiliki oleh ummat ini dan yang mengungguli ummat-ummat lainnya. Allah SWT berfirman:
"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110)
Dalam ayat ini penyebutan amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan daripada penyebutan iman, padahal iman merupakan asas. Hal ini karena iman kepada Allah itu merupakan ketentuan yang bersifat umum (dimiliki) antara umat-umat Ahlul Kitab semuanya, tetapi amar ma'ruf nahi munkar merupakan kemuliaan ummat ini. Seperti tumbuh-tumbuhan padang pasir, Allah-lah yang mengeluarkannya, dan dia tidak dikeluarkan agar hidup untuk dirinya saja, tetapi dikeluarkan untuk (kemaslahatan) ummat manusia seluruhnya. Ummat ini adalah ummat dakwah dan risalah, tugasnya menyebarkan yang ma'ruf dan memperkuatnya, dan mencegah yang munkar serta menghancurkannya.
Sebelum ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)
Ayat di atas memiliki dua makna; yang pertama kalimat "min" berarti lit-tajrid, dengan demikian artinya hendaklah kamu menjadi ummat yang selalu mengajak kepada kebajikan. Dan barangkali yang memperkuat makna ini adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka, bukan kepada yang lain, seperti yang ada pada kalimat "wa ulauika humul muflihuun."
Makna tafsirnya: hendaklah seluruh ummat Islam menjadi penyeru kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, masing-masing sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya, sehingga termasuk berhak memperoleh keberuntungan.
Makna yang kedua, kata "min" berarti lit-tab'idh--sebagaimana ini terkenal--artinya hendaklah di dalam masyarakat Islam itu ada sekelompok kaum Muslimin yang memiliki spesialisasi, memiliki kemampuan dan memiliki persiapan yang sesuai untuk mengemban kewajiban.berdakwah dan beramar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud "thaifah" di sini adalah mewuludkan Jamaatul Muslimin secara umum dan ulil amri secara khusus. Maka wajib bagi mereka mempersiapkan sebab-sebab (sarana) untuk terwujudnya thaifah tersebut dan mendukungnya baik secara moril maupun materiil agar dapat tertegak risalah-Nya. Selagi ummat atau thaifah yang dicita-citakan ini belum terwujud maka dosanya akan ditanggung oleh seluruh kaum Muslimin, sebagai fardhu kifayah yang ditinggalkan dan diabaikan.
Tidak cukup adartya afrad (individu-individu) yang berserakan (tidak teratur), yang hanya melakukan ceramah dalam suatu negara yang mengatur mereka atau suatu masyarakat yang jauh dari mereka. Al Qur'an tidak menginginkan yang demikian, melainkan Al Qur'an menghendaki adanya ummat, yang mengharuskan ummat itu untuk memiliki kebebasan berdakwah ke arah kebaikan, di mana pintu kebaikan yang terbesar ialah Islam. Hendaknya ummat itu mampu memerintah dan melarang, karena hal itu adalah perkara yang lebih khusus dan lebih besar daripada sekedar mau 'izhah dan tadzkir (nasehat dan peringatan). Setiap orang yang mempunyai lidah, ia bisa memberi nasehat dan peringatan, tetapi tidak selamanya bisa memerintah dan melarang. Dan yang dituntut oleh ayat tersebut adalah mewujudkan ummat yang mampu berdakwah, memerintah dan melarang.
Dalam menjelaskan ciri-ciri secara umum bagi masyarakat mukmin yang berbeda dengan masyarakat orang-orang kafir dan munafik, Al Qur'an berbicara dalam surat At-Taubah:
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)
Di antara keindahan ayat ini, bahwa Dia menyertakan mukminah di samping mukminin dan menjadikan kasih sayang serta saling mendukung antara mereka. Serta memikulkan kepada mereka, baik laki-laki maupun perempuan, tugas amar ma'ruf nahi munkar, dan mendahulukan tugas itu atas shalat dan zakat. Karena amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan ciri utama bagi masyarakat Islam dan bagi individu anggota masyarakat tersebut. Islam tidak menghendaki mereka baik hanya untuk diri sendiri. sementara mereka tidak berupaya untuk memperbaiki orang lain. Dalam hal ini Allah menjelaskan dalam Surat Al Ashr:
"Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mentaati kesabaran." (Al Ashr: 1-3)
Maka tidak cukup hanya dengan iman dan beramal shalih untuk memperoleh keselamatan dari kerugian dan kehancuran, sehingga mereka mau melaksanakan saling berwasiat dalam melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap bersabar. Dengan kata lain, sehingga mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan makna saling menasehati dan dakwah di masyarakat untuk berpegang kepada kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Dan hal itu termasuk pilar kekuatan masyarakat setelah iman dan amal shalih.
Di dalam surat At-Taubah juga ada penjelasan tentang sifat-sifat orang yang beriman yang mana Allah telah membeli (menukar) diri dan harta mereka dengan surga, demikian itu tersebut dalam firman Allah SWT:
"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang rnakmin itu." (At-Taubah: 112)
Dalam Surat Al Hajj, Al Qur'an menjelaskan kewajiban yang terpenting ketika ummat Islam diberi kesempatan oleh Allah SWT di bumi ini untuk memiliki daulah dan kekuasaan, Allah berfirman:
"sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di maka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Al Hajj: 40-41)
Amar ma'ruf dan nahi munkar' setelah shalat dan zakat adalah faktor terpenting dalam Daulah Islamiyah. Setelah Allah memberikan daulah itu kepada ummat Islam dan memenangkan atas musuhnya. Bahkan mereka tidak berhak memperoleh pertolongan Allah kecuali dengan melaksanakan tugas itu, sebagaimana diterangkan dalam dua ayat tersebut.
Inilah kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia merupakan lambang atas wajibnya takaful (saling memikul beban) secara moral di antara kaum Muslimin, sebagaimana zakat merupakan lambang atas wajibnya takaful materi di antara mereka.
Rasulullah SAW telah menggambarkan takaful adabi (moral) itu dengan gambaran atau ilustrasi yang menarik sekali, sebagaimana diriwayatkan oleh Nu'man bin Basyir RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal, sebagian ada yang di atas dan sebagian ada yang di bawah, orang-orang yang berada di bawah apabila ingin mengambil air mereka mesti melalui orang-orang yang berada di atas, la1u orang-orang yang di bawah itu berkata, "Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan kita maka kita tidak usah mengganggu orang-orang yang ada di atas kita!" Maka jika orang-orang yang di atas itu membiarkan kemauan mereka yang di bawah, akan tenggelamlah semuanya, dan jika mereka menahan tangan orang-orang, yang di bawah, maka akan selamat, dari selamatlah semuanya." (HR. Bukhari)
Sesungguhnya seburuk-buruk sesuatu yang menimpa masyarakat adalah zhalimnya para thaghut atau takutnya rakyat terhadap mereka, sehingga tidak ada suara haq, da'wah, nasihat, amar ma'ruf dan nahi munkar. Dengan demikian hancurlah mimbar-mimbar perbaikan, semakin surut nilai-nilai kekuatan dan semakin layu pula pohon-pohon kebaikan, sementara kejahatan dan para penyerunya semakin berani untuk bermunculan dan menyebarkannya, sehingga mereka berhasil membuka pasar-pasar kerusakan, memasarkan dagangan Iblis dan tentaranya, tanpa ada yang melawan dan menghentikan.
Ketika itulah maka masyarakat itu akan menerima ancaman Allah dan siksa-Nya, sehingga bala, dan bencana itu akan menimpa orang-orang yang berbuat kemunkaran dan yang mendiamkannya, Allah SWT berfirman:
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (Al Anfal: 25)
Rasulullah juga bersabda:
"Sesungguhnya manusia itu apabila melihat orang yang zhalim, lalu mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan meratakan siksa dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i)
Sesungguhnya Allah telah melaknat Bani Israil melalui lisan para Nabi-Nya dan memukul hati sebagian mereka dengan sebagian serta mengangkat pemimpin dari orang yang tidak berbelas kasihan kepada mereka. Hal itu disebabkan karena tersebarnya kemungkaran di antara mereka tanpa ada orang yang merubah atau melarangnya.
Allah SWT berfirman:
"Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkari mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al Maidah: 78-79)
Lebih buruk dari apa yang telah kita sebutkan adalah jika hati masyarakat itu telah mati atau paling tidak sakit, setelah lamanya bergaul dengan kemungkaran dan mendiamkannya, sehingga kehilangan rasa keberagamaan dan akhlaqnya. Yang dengan perasaan itu akan diketahui yang ma ruf dari yang mungkar. Mereka telah kehilangan kecerdasan yang (seharusnya) mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang lurus dan yang menyimpang, maka ketika itu rusaklah standar masyarakat. Sehingga mereka melihat perkara yang sunnah menjadi bid'ah, yang bid'ah menjadi sunnah. Gejala lain adalah apa yang saat ini kita lihat dan rasakan di kalangan kebanyakan anak-anak kaum Muslimin, yaitu anggapan bahwa beragama itu suatu kemunduran, istiqamah itu kuno dan teguh dalam pendirian justru dianggap jumud (beku), sementara kemaksiatan dikatakan sebagai seni, kekufuran menjadi sebuah kebebasan, dekadensi moral menjadi suatu kemajuan dan memanfaatkan warisan salaf dianggap keterbelakangan dalam berfikir. Sampai pada hal-hal yang tidak kita ketahui, atau dengan kata lain yang singkat, yang ma'ruf telah menjadi munkar, dan yang munkar telah menjadi ma'ruf dalam pandangan mereka.
Lebih buruk dari itu semua ketika suara kebenaran itu mulai meredup (hilang), sementara teriakan kebathilan semakin menggelora memenuhi seluruh penjuru dunia untuk mengajak pada kerusakan, memerintahkan untuk berbuat kemungkaran dan melarang dari yang ma'ruf. Itulah teriakan orang-orang yang ciri-cirinya telah disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAU: bahwa mereka adalah "Du'aat 'ala abwaabi jahannam, man ajaa-bahum ilahaa qadzafuuhu jahannam," barangsiapa menyambut ajakan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke neraka jahannam.
Inilah keadaan orang-orang munafik yang Al Qur'an telah mengatakan bahwa mereka adalah penghuni dasar yang terbawah dari neraka. Itulah masyarakat yang ciri-cirinya telah disebutkan dalam ayat berikut ini:
"Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'uf dan mereka menggenggam tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesunggluhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik." (At-Taubah: 67)
Sifat-sifat itu sangat bertentangan dengan sifat-sifat masyarakat Islam, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf; mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)
Yang patut kita perhatikan di sini bahwa mereka (orang-orang munafik) itu masyarakat yang kepalanya terbalik, yang memerintahkan untuk berbuat kemunkaran dan mencegah dari yang ma'ruf.
Maka apabila suara haq itu telah menggema untuk mengajak kepada Allah, memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang dari kerusakan dan kezhaliman, maka pembalasan yang mereka (para da'i) terima adalah pemberangusan secara terang-terangan berupa kematian di tiang gantungan di siang hari atau penangkapan secara rahasia kemudian dibunuh dengan senjata atau disiksa dengan cemeti (cambuk) di tengah-tengah malam. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh Bani Israil terhadap para Nabi-Nya. Mereka membunuhnya tanpa alasan yang benar, sehingga sebagian mereka ada lagi yang membuat rencana buruk untuk membunuh dan menyalib nabinya, sampai akhirnya Allah mengangkat dan menyelamatkannya. Mereka benar-benar telah membunuh para nabi dan para da'i. sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akherat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (Ali Imran: 21-22)
Sesungguhnya berbagai tahapan dalam kemerosotan dan kerusakan itu saling terkait antara satu tahapan dengan tahapan yang lainnya. Hal-hal yang syubhat menarik atau mengarahkan pada terjadinya dosa-dosa kecil, dan dosa-dosa kecil itu menarik atau mengarahkan pada dosa-dosa besar, sedangkan dosa-dosa yang besar itu mengarah pada kekufuran. Semoga Allah melindungi kita dari yang demikian.
Di antara hadits-hadits yang paling menank, yang menjelaskan tentang arus kemerosotan, kejahatan dan kemaksiatan adalah hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Umamah, marfu':
"Bagaimana kamu, jika isteri-isterimu telah berbuat zina, dan pemuda-pemudanya telah fasik, dan kamu telah meninggalkan jihad?" Sahabat bertanya, "Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat yang diriku ada ditangan-Nya' lebih dari itu akan terjadi." Sahabat bertanya, "Apa yang lebih berat dari itu wahai Rasulullah?" Nabi bersabda, "Bagaimana kamu, jika kamu tidak melaksanakan amar ma'ruf dan nahi mungkar?" Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah ?" Nabi bersabda, "Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, lebih dari itu akan terjadi!" Mereka bertanya, "Apakah yang lebih dari itu wahai Rasul Allah?" Nabi bersabda, "Bagaimana kamu jika kamu melihat yang ma'ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma'ruf?" Mereka bertanya, "Apa kah itu akan terjadi wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, yang lebih dari itu akan terjadi !" Mereka bertanya, "Apa yang lebih dari itu wahai Rasulullah?" Nabi bersabda, "Bagaimana pendapatmu jika kamu memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma'ruf?" Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, lebih dari itu akan terjadi !"Allah SWT bersabda, "Aku bersumpah demi Aku, akan Aku buka untuk mereka fitnah, di mana orang yang sabar (penyantun) karena fitnah itu menjadi kebingungan." (HR. Abid Dunya -Dha'if-)
Nampaknya kebanyakan dari hal-hal yang diperingatkan oleh hadits ini sudah terjadi, sehingga yang ma'ruf menjadi munkar, dan yang munkar menjadi ma'ruf, seakan-akan dakwah kepada Islam dan syari'atnya itu suatu kesalahan atau dosa. Dan para da'i pun telah dituduh sebagai fundamentalis, ekstrim, yang posisinya selalu tertuduh.
Tetapi para da'i ilallah, orang-orang yang beramar ma'ruf nahi munkar dan para pelindung dan pembangkit agama Allah, suara mereka masih tetap kuat bersama kebenaran (yang dibawanya), meskipun suara kebatilan di kanan kirinya terus menggema.
Yang penting adalah memperkuat pelaksanaan kewajiban yang besar ini dan menghidupkannya kembali, serta menghidupkan aktifitas dakwah, yang dengannya akan sanggup melaksanakan syiar ini dalam kehidupan yang nyata. Dan para da'i dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Islam.
Jika sebagian manusia dewasa ini berbicara tentang pentingnya membentuk opini umum dan pengaruhnya dalam mengawasi dan memelihara prinsip-prinsip umat, akhlaq, moral dan kepentingannya serta meluruskan apa-apa yang dianggap bengkok (tidak benar) dari masalah-masalah kehidupannya, maka kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar adalah sarana terbaik yang menjamin tercapainya tujuan tersebut untuk membentuk opini umum yang bersandar pada standar akhlak Islami, tata susila yang paling benar, paling adil, paling kekal dan paling kuat, karena standar itu diambil dari Al Haq yang 'azli dan abadi, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Sumber : Google.co.id

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN


 
 PERTANYAAN :
 
 Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan  sudah  barang
tentu  juga  dihadapi  orang  lain,  yaitu  masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan  wanita,  khususnya  terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara  ibu,  atau
saudara  wanita  istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan  kekerabatan  atau  persemendaan  dengan  saya.
Lebih-lebih  dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji  atau  umrah,
atau  saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan  bertahni'ah
(mengucapkan  selamat  atasnya)  dan  berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.
 
Pertanyaan saya, apakah ada nash  Al-Qur'an  atau  As-Sunnah
yang  mengharamkan  berjabat  tangan antara laki-laki dengan
wanita,  sementara  sudah  saya  sebutkan  banyak   motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari  fitnah,  dan  jauh  dari
rangsangan  syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama  ini
kuno   dan   terlalu   ketat,   merendahkan  wanita,  selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
 
Apabila ada dalil syar'inya, maka kami  akan  menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka  adakalanya
fuqaha-fuqaha   kita   sekarang   boleh   berbeda   pendapat
dengannya, apabila  mereka  mempunyai  ijtihad  yang  benar,
dengan  didasarkan  pada  tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
 
Karena itu, saya menulis  surat  ini  kepada  Ustadz  dengan
harapan  Ustadz  berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan  Al-Qur'anul  Karim  dan  Al-Hadits  asy-Syarif.
Kalau   ada  dalil  yang  melarang  sudah  tentu  kami  akan
berhenti; tetapi jika dalam  hal  ini  terdapat  kelapangan,
maka  kami  tidak  mempersempit  kelapangan-kelapangan  yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih  sangat  diperlukan
dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.
 
Saya  berharap  kesibukan-kesibukan  Ustadz  yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz  untuk  menjawab  surat  saya  ini,
sebab  -  sebagaimana  saya  katakan di muka - persoalan ini
bukan  persoalan  saya  seorang,  tetapi  mungkin  persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
 
Semoga  Allah  melapangkan  dada  Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz  untuk  menahkik  masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
 
JAWABAN : 
Tidak  perlu  saya  sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah  hukum  berjabat  tangan  antara  laki-laki   dengan
perempuan  -  yang  saudara tanyakan itu - merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik  hukumnya  tidak  bisa
dilakukan  dengan  seenaknya.  Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga  si  mufti  harus
bebas  dari  tekanan  pikiran  orang  lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila  tidak  didapati
acuannya    dalam    Al-Qur'an    dan   As-Sunnah   sehingga
argumentasi-argumentasinya    dapat    didiskusikan    untuk
memperoleh  pendapat  yang  lebih  kuat  dan lebih mendekati
kebenaran menurut  pandangan  seorang  faqih,  yang  didalam
pembahasannya    hanya    mencari    ridha    Allah,   bukan
memperturutkan hawa nafsu.
 
Sebelum memasuki pembahasan  dan  diskusi  ini,  saya  ingin
mengeluarkan  dua  buah  gambaran  dari  lapangan  perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum  kedua  gambaran
itu  tidak  diperselisihkan  oleh  fuqaha-fuqaha  terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
 
Pertama, diharamkan berjabat tangan  dengan  wanita  apabila
disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan  syahwat  sudah  barang  tentu  lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah
wajib,  lebih-lebih  jika  telah  tampak  tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
 
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para  ulama
bahwa  bersentuhan  kulit  antara laki-laki dengannya - yang
pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram  apabila
disertai   dengan   syahwat  atau  dikhawatirkan  terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan  anak  perempuan  si  istri  (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan  hati  ibu  kandung,
anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
 
Kedua,  kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai
syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
 
Hal  ini  didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa  orang  wanita
tua,  dan  Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk  merawatnya,  maka  wanita  itu   mengusapnya   dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
 
Hal  ini  sudah  ditunjukkan  Al-Qur'an  dalam  membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari  haid  dan
mengandung),  dan  tiada  gairah  terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
 
"Dan  perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka   dosa   menanggalkan  pakaian  mereka  dengan  tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan  adalah
lebih  baik  bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (an-Nur: 60)
 
Dikecualikan  pula  laki-laki  yang  tidak  memiliki  gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya.  Mereka  dikecualikan  dari   sasaran   larangan
terhadap   wanita-wanita   mukminah  dalam  hal  menampakkan
perhiasannya.
 
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau  saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau   putra-putra   saudara    perempuan    mereka,    atau
wanita-wanita  Islam,  atau  budak-budak yang mereka miliki,
atau  pelayan-pelayan   laki-laki   yang   tidak   mempunyai
keinginan   (terhadap  wanita)  atau  anak-anak  yang  belum
mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)
 
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan  dan  pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
 
Golongan yang mewajibkan  wanita  menutup  seluruh  tubuhnya
hingga  wajah  dan  telapak  tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
 
"... Dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya  kecuali
yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
 
Bahkan  mereka  menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju  panjang,  mantel,  dan
sebagainya,   atau   yang   tampak  karena  darurat  seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya.  Maka
tidak   mengherankan   lagi  bahwa  berjabat  tangan  antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram.  Sebab,
apabila   kedua   telapak  tangan  itu  wajib  ditutup  maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja  haram,
apa  lagi  menyentuhnya.  Sebab,  menyentuh  itu lebih berat
daripada melihat,  karena  ia  lebih  merangsang,  sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
 
Tetapi  sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas  fuqaha  dari
kalangan  sahabat,  tabi'in,  dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang
biasa  tampak  daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
 
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat  tangan
yang tidak disertai syahwat?
 
Sebenarnya  saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan  demikian,  tetapi  tidak  saya
temukan.
 
Dalil  yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari'ah), dan  alasan  ini  dapat  diterima  tanpa
ragu-ragu  lagi  ketika  syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah  bila  telah  tampak  tanda-tandanya.  Tetapi   dalam
kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak
keharamannya?
 
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak   berjabat   tangan  dengan  perempuan  ketika  beliau
membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah  yang  terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
 
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan  -
secara   pasti   -   akan  keharamannya.  Adakalanya  beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya  hal  itu  kurang  utama,  dan  adakalanya  hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
 
Kalau  begitu,  sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak  dapat  dijadikan  dalil  untuk  menetapkan
keharamannya,  oleh  karena  itu  harus  ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
 
Lebih dari itu,  bahwa  masalah  Nabi  saw.  tidak  berjabat
tangan  dengan  kaum  wanita  pada  waktu  bai'at  itu belum
disepakati,   karena   menurut    riwayat    Ummu    Athiyah
al-Anshariyah  r.a.  bahwa  Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
 
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari  Aisyah  bahwa
Rasulullah   saw.   menguji   wanita-wanita   mukminah  yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
 
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang
beriman  untuk  mengadakan  janji  setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah;  tidak  akan
mencuri,   tidak   akan   berzina,   tidak   akan   membunuh
anak-anaknya,  tidak  akan   berbuat   dusta   yang   mereka
ada-adakan  antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji
setia  mereka  dan  mohonkanlah  ampunan  kepada Allah untuk
mereka.  Sesungguhnya  Allah  Maha   Pengampun   lagi   Maha
Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)
 
Aisyah  berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut,  Rasulullah  saw.
berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan
saja - dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidak
menyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at  itu;  beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan  mengucapkan,  'Aku  telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4
 
Dalam  mensyarah  perkataan  Aisyah "Tidak, demi Allah ...,"
al-Hafizh Ibnu  Hajar  berkata  dalam  Fathul  Bari  sebagai
berikut:   Perkataan  itu  berupa  sumpah  untuk  menguatkan
berita,  dan  dengan  perkataannya  itu  seakan-akan  Aisyah
hendak   menyangkal   berita  yang  diriwayatkan  dari  Ummu
Athiyah.   Menurut   riwayat   Ibnu    Hibban,    al-Bazzar,
ath-Thabari,  dan  Ibnu  Mardawaih,  dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari  neneknya,  Ummu  Athiyah,  mengenai  kisah
bai'at, Ummu Athiyah berkata:
 
"Lalu  Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,  kemudian
beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"
 
Demikian  pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:
 
"Seorang wanita menahan tangannya"
 
Memberi kesan seolah-olah  mereka  melakukan  bai'at  dengan
tangan mereka.
 
Al-Hafizh  (Ibnu  Hajar)  berkata:  "Untuk  yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa  mengulurkan  tangan  dari  balik
hijab  mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak
sampai berjabat tangan...  Adapun  untuk  yang  kedua,  yang
dimaksud  dengan  menggenggam  tangan  itu  ialah menariknya
sebelum  bersentuhan...  Atau  bai'at  itu  terjadi   dengan
menggunakan lapis tangan.
 
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa
Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau  membawa  kain
selimut  bergaris  dari  Qatar  lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
 
"Aku tidak berjabat dengan wanita."
 
Dalam  Maghazi  Ibnu  Ishaq  disebutkan  bahwa   Nabi   saw.
memasukkan  tangannya  ke  dalam  bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.
Sumber : Google.co.id

Template by : kendhin x-template.blogspot.com